Wednesday, April 29, 2009

Ham dan Kedaulatan Suatu Negara

Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan (pasal 1 Deklarasi Universal of Human Rights).

Hak azasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran didalam kehidupan masyarakat. Hak itu dimiliki tanpa memandang perbedaan bangsa, ras, agama, atau kelamin karena itu bersifat azasi dan universal. Dasar dari hak azasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan cita-citanya. Hak azasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa hak azasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri.
Hak azasi manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak azasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak azasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
Menurut John Locke (Two Treties on Civil Government) Hak Azasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak). Hak azasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Sedangkan menurut Piagam PBB Hak Azasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan, mencakup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu.
Apabila kita bandingkan pengertian hak azasi manusia didalam UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia, pengertian hak azasi manusia menjadi lebih luas lagi, sebagai berikut. Hak Azasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.


Hak-hak yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia adalah :

1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.

2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.

3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membengun masyarakat, bangsa dan negaranya.

4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.

5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat dimuka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewaganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.

6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.

8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam jabatan pemerintahan.

9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Disamping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya. Konsep hak azasi perempuan bukan sekedarnya akal sehat, tetapi juga terkandung visi dan maksud transformasi relasi sosial melalui perubahan relasi kekuasaan berbasis gender. Hak azasi perempuan Indonesia sangat menonjol, menurut UUD 1945 secara formal tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan. Banyak perlindungan yuridis yang melindungi hak-hak perempuan Indonesia. Hak politik perempuan Indonesia pun telah dirumuskan juga dalam suatu kovenan yang belum kita ratifikasi, yaitu Kovenan Hak Sipil dan Politik. Ada tiga isu utama yang berkaitan dengan hak perempuan di Indonesia, yakni kekerasan terhadap perempuan, kewarganegaraan dan perdagangan perempuan dan anak. Akan tetapi system hukum Indonesia yang masih lemah belum mampu menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dan juga memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku. Melalui UU PKDRT, UU Kewarganegaraan dan UU Pemberantasan PTPPO ini, minimal secara legal terdapat kepastian hak perempuan Indonesia.

10. Hak anak. Setiapa anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.


Pemaknaan HAM kemudian berkembang seiring tingkat kemajuan peradaban , hingga dewasa ini HAM mencakup beberapa bidang berikut :

1. Hak-hak Azasi Pribadi (personal right), yaitu meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dsb.

2. Hak-hak Azasi Ekonomi (property right), yaitu hak untuk memiliki, membeli dan menjual serta memanfaatkan sesuatu.

3. Hak-hak Azasi Politik (political right), yaitu hak ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilu), hak untuk mendirikan parpol, dsb.

4. Hak-hak azasi untuk mendapat perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality).

5. Hak-hak Azasi Sosial dan Kebudayaan (social and cultural rights), yaitu meliputi hak untuk memilih/mendapat pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan, dsb.

6. Hak-hak Azasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya, peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, peradilan, dsb.

Masalah penegakan HAM di Indonesia merupakan masalah yang kompleks dan mengalami dinamika yang cukup beragam. Walaupun perlindungan terhadap HAM telah tercantum dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yang menjadi Konstitusi Negara, namun bukan berarti bahwa penegakan HAM telah sampai disini. Perjalanan sejarah bangsa menunjukan bahwa pelanggaran HAM bukannya tidak ada. Pemenjaraan tanpa pengadilan, penghilangan orang secara paksa, pembredelan pers merupakan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negeri ini. Harus diakui bahwa perkembangan arus keterbukaan politik dan demokrasi telah mendorong adanya perbaikan upaya untuk melindungi HAM.


Produk Perundang-undangan terkait Penegakkan HAM di Indonesia

Memasuki tahun 1990-an dapat disebut sebagai salah satu masa perkembangan kesadaran terhadap pentingnya HAM dan ini ditandai keluarnya Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang pembentukan Komnas HAM pada 7 Juni 1993. Salah satu tujuan pembentukan Komnas HAM adalah untuk meningkatkan perlindungan HAM dan tujuan ini diwujudkan melalui :

1. Menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat Internasional.

2. Mengkaji berbagai instrumen PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasinya.

3. Memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan HAM

4. Mengadakan kerjasama regional dan internasional dalam rangka memajukan dan melindungi HAM.

Kemudian melalui Rapat Paripurna, MPR mengeluarkan Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 tanggal 13 November 1998. Dalam ketetapan tersebut MPR menugaskan kepada lembaga-lembaga negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman tentang HAM.

Presiden dan DPR juga ditugaskan untuk meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM, antara lain :

1. UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang pengesahan Convention Againts Torture and Orde Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia)

2. Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

3. Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Azasi Manusia Indonesia.

4. Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

5. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia

6. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

7. Selanjutnya MPR melakukan Amandemen UUD 1945 (Amandemen kedua tahun 2000). Dalam Amandemen tersebut HAM diatur dalam Bab tersendiri didalam Batang Tubuh UUD 1945, tercantum pada Bab XA tentang HAM yang terdiri atas pasal 28A-28J.


HAMBATAN PENEGAKAN HAM

1. Faktor Kondisi Sosial Budaya
a. Stratifikasi dan status sosial, yaitu tingkat pendidikan, usia pekerjaan, keturunan dan
ekonomi masyarakat Indonesia yang multikompleks (heterogen)
b. Norma adat atau budaya lokal yang kadang bertentangan dengan HAM, terutama jika
sudah bersinggungan dengan kedudukan seseorang, upacara-upacara sakral, pergaulan, dsb
c. Masih adanya konflik horisontal dikalangan masyarakat yang hanya disebabkan oleh
hal-hal sepele.

2. Faktor Komunikasi dan Informasi
a. Letak geografis Indonesia yang luas dengan laut, sungai, hutan dan gunung yang
membatasi komunikasi antar daerah.
b. Sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang belum terbangun secara baik
yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.
c. Sistem Informasi untuk kepentingan sosialisasi yang masih sangat terbatas baik
pada sumberdaya manusianya maupun perangkat (software dan hardware) yang diperlukan.

3. Faktor Kebijakan Pemerintah
a. Tidak semua penguasa memiliki kebijakan yang sama tentang pentingnya jaminan HAM.
b. Ada kalanya demi kepentingan stabilitas nasional, persoalan HAM sering diabaikan.
c. Peran pengawasan Legislatif dan kontrol sosial oleh masyarakat terhadap pemerintah
sering diartikan oleh penguasa sebagai tindakan pembangkangan.

4. Faktor Perangkat Perundang-undangan
a. Pemerintah tidak segera meratifikasi hasil-hasil konvensi internasional tentang HAM
b. Kalaupun ada, peraturan perundang-undangan masih sulit diimplementasikan.

5. Faktor Aparat dan Penindakannya (Law Enforcement)
a. Masih adanya oknum aparat yang secara institusi atau pribadi mengabaikan prosedur
kerja yang sesuai dengan HAM
b. Tingkat pendidikan dan kesejahteraan sebagian aparat yang dinilai masih belum
layak sering membuka peluang jalan pintas untuk memperkaya diri.
c. Pelaksanaan tindakan pelanggaran oleh oknum aparat masih diskriminatif, tidak
konsekuen dan tindakan penyimpangan berupa KKN


PELANGGARAN HAM

Pelanggaran HAM menurut UU No. 39/1999 adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Azasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pelanggaran HAM berat diselesaikan khusus melalui pengadilan HAM. Menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak azasi manusia yang berat, meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara :
1. Membunuh anggota kelompok
2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok, atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1. pembunuhan
2. pemusnahan
3. perbudakan
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
6. penyiksaan
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional
9. penghilangan orang secara paksa, atau
10. kejahatan apartheid.

Pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh majelis hakim pengadilan HAM yang berjumlah lima orang terdiri atas dua orang hakim pada pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad hoc.

Hakim Ad Hoc adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karir yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati HAM dan kewajiban dasar manusia.

Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atau hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya.


PELANGGARAN HAM INTERNASIONAL

Terkait pelanggaran HAM, PBB telah membentuk Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of International Criminal Court) tahun 2002 untuk mengadili kejahatan perang, pembersihan etnik (genosida), kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi. Berdirinya badan ini merupakan hasil persetujuan internasional atas suatu dokumen, Statuta Roma yang disahkan pada 1998. Statuta Roma ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2002.

Mahkamah Pidana Internasional ini mempunyai kekuasaan yang sangat besar tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh ketentuan bahwa setiap pelanggaran yang akan diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional memerlukan persetujuan dari Dewan Keamanan PBB. Salah satu wewenangnya adalah menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu tindakan yang melanggar hak, yang dinamakan Command Responsibility. ICC ini tidak berlaku surut (asas retroaktif), hanya menangani pelanggaran berat pasca ratifikasi Statuta Roma (entry into force)

Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Rome Statute. Salah satu yang tidak disetujui dalam statuta roma adalah peran dan kedudukan Jaksa Internasional.
Kehadiran Jaksa Internasional ini bisa saja membawa akibat berkurangnya kedaulatan negara. Bahkan Jaksa Internasional bisa langsung masuk tanpa kompromi dengan negara yang bersangkutan. Hak penuh bagi Jaksa Internasional untuk melakukan penyelidikan hanya berdasarkan laporan ICC semata. Dan Statuta Roma ini bila akan diratifikasi oleh suatu negara tidak boleh direservasi. Artinya, untuk meratifikasi berarti menyetujui seluruh isi pasal tanpa terkecuali.

Adapun cara kerja komisi PBB untuk HAM (The United Nations Commision on Human Rights) untuk sampai pada proses peradilan HAM Internasional, adalah sebagai berikut :

1. melakukan pengkajian (studies) terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, baik dalam suatu negara tertentu maupun secara global. Terhadap kasus-kasus pelanggaran yang terjadi, kegiatan komisi terbatas pada himbauan serta persuasi. Kekuatan himbauan dan persuasi terletak pada tekanan opini dunia Internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.

2. seluruh temuan komisi ini dimuat dalam Yearbook of Human Rights yang disampaikan kepada Sidang Umum PBB.

3. setiap warga negara dan atau negara anggota PBB berhak mengadu kepada komisi ini. Untuk warga negara perseorangan dipersyaratkan agar terlebih dahulu ditempuh secara musyawarah di negara asalnya, sebelum pengaduan dibahas.

4. Mahkamah Internasional sesuai dengan tugasnya, segera menindaklanjuti baik pengaduan oleh anggota maupun warga negara anggota PBB, serta hasil pengkajian dan temuan Komisi HAM PBB untuk diadakan penyidikan, penahanan, dan proses peradilan.

Jelaslah bahwa Revolusi HAM telah banyak menggerogoti kedaulatan suatu negara. Pada masa yang akan datang konsep domestic jurisdiction akan digantikan dengan konsep universal jurisdiction dan hal ini harus sudah diantisipasi oleh pemerintah.