Thursday, April 02, 2009

Reformasi Intelijen?

Bila kita menilik perubahan signifikan dalam lembagai intelijen tertinggi di Republik ini, maka sekilas kita akan melihat sosok Badan Intelijen Negara (BIN) yang berbeda dengan Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) di masa lalu. Sayang, letak perbedaannya hanya pada kata koordinasi.....yang bisa diartikan hilangnya fungsi koordinasi atau mungkin juga upaya menjadikan badan yang sungguh-sungguh memiliki operasionalisasi yang memadai.

Lebih lanjut, bila kita menilik badan intelijen lain semisal Badan Intelijen Strategis (BAIS) milik militer dan Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) milik Polri, unit intelijen Departemen seperti di Depkumham, Kejaksaan Agung, Direktorat Sospol Depdagri maka tidak sedikitpun perubahan. Bahkan apa yang kita kenal sebagai komunitas intelijen yang dikoordinir BIN masih tetap berjalan. Karena bentuk komunitas intel itu lebih mirip ngobrol sambil ngopi bareng serta "sedikit" pengarahan, maka pengaruhnya bisa jadi sangat-sangat lemah.

Ketika Amerika Serikat diguncang teror bom yang kita kenal dengan sebutan 9/11, serta-merta terjadi desakan dilakukannya reformasi nasional atas organisasi dan gelar operasi seluruh jajaran intelijen. Tidak ada sesuatupun yang berdampak serius ke dalam organisasi, karena kongres dan eksekutif sangat menghargai keberadaan organisasi intelijen seburuk apapun kinerja mereka.

Tapi di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya, fungsi intelijen semakin kerdil, marjinal dan saya perkirakan hanya kan menjadi mata-telinga penguasa menjelang pesta demokrasi lima tahunan, akibatnya profesionalisme organisasi semakin terabaikan.

Tingkat frustasi para intel telah mendekati suatu kondisi yang memprihatinkan. Dengan sistem single client yang patuh total pada presiden, maka tidak mau tidak semua unsur intelijen, khususnya BIN telah berubah menjadi alat politik yang signifikan.

Kalau benar-benar diperhatikan apa fungsi dari Badan Intelijen di negara RI, kita tinggal melihat ke dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu bisa dijabarkan sebagai berikut:

"Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang dijabarkan dalam bentuk tugas mengkoordinasikan perencanaan umum dan pelaksanaan operasional kegiatan intelijen diantara instansi-instansi lainnya yang memiliki fungsi intelijen dan mendukung penyelenggaraan tugas pokok intelijen masing-masing instansi. Memberikan keterangan-keterangan rahasia yang akurat dan tepat waktu kepada presiden dan kabinet. Mengumpulkan keterangan rahasia luar negeri, keterangan rahasia dalam negeri, melakukan analisa, melaklukan kontra-spionase, dan melakukan kontra-terorisme."

Tetapi apa daya mimpi tak sampai, kooptasi organisasi intelijen oleh kekuatan politik dan kepentingan sesaat para penguasa telah melemahkan organisasi intelijen itu sendiri. Ini apa yang saya sebut sebagai hilangnya profesionalisme dan nurani kerakyatan/kebangsaan yang seharusnya melekat di hati setiap insan intelijen.

Sekedar bukti-bukti politik:

* Perkembangan intelijen di tanah nusantara mulai tumbuh setelah RIS dilebur menjadi RI dan menjelma menjadi NKRI pada tanggal 15 Agustus 1950. Dimana mantan presiden Soekarno pada bulan Desember 1958 membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI), tetapi pada bulan November 1959, Badan Koordinasi Intelijen (BKI) dirubah namanya menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dalam bahasa Inggris = CIA. Tokoh yang ditugasi dan diberi tanggung jawab oleh mantan presiden Soekarno untuk mengurus dan menjalankan Badan Pusat Intelijen (BPI) adalah Menteri Luar Negeri Subandrio (orang dekat presiden yang kemudian juga terseret dalam sengketa politik nasional).
* Ketika terjadi pergantian kekuasaan ke tangan Jenderal Soeharto, itu Badan Pusat Intelijen (BPI) dibubarkan dan "dibersihkan" pada tanggal 22 Agustus 1966, digantikan oleh Komando Intelijen Negara (KIN) yang langsung dibawah komando Jenderal Soeharto dengan bantuan tokoh intel kawakan Sudirgo tentunya. Kemudian pada tanggal 22 Mei 1967, Komando Intelijen Negara (KIN) berganti nama menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), pemimpin lembaga baru ini adalah Jenderal-jenderal terdekat dengan presiden yang sedang menjabat. Nama-nama tokoh intelijen Indonesia seperti Letjen (purn) Sutopo Yuwono, Jenderal (purn) Yoga Soegomo, Letjen (purn) Sudibyo, Letjen (purn) Moetojib, Letjen (purn) ZA Maulani, Letjen (purn) Arie J. Kumaat, Jenderal (purn) AM. Hendropriyono, dan terakhir Mayjen (purn) Syamsir Siregar semuanya adalah orangnya presiden.
* Kiprah pemimpin BAKIN yang pertama tidak terlalu lama karena pertentangan dengan para petinggi militer, sehingga pada tahun 1974 harus digantikan oleh pemimpin yang lebih disenangi kalangan militer aktif dan khususnya mantan presiden Suharto.
* Pada masa mantan Presiden Suharto, kepemimpinan Jenderal Yoga Soegomo jelas tidak bisa dipungkiri nama besarnya, karena ranking militernya yang jenderal penuh didukung oleh model operasi gaya Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB). Kepemimpinan gaya flamboyan yang melebihi wewenang berdasarkan hukum positif itu telah mengabaikan pentingnya penataan hukum nasional dalam bidang pertahanan dan keamanan (security). Keberadaan hukum antisubversi dan kekuatan politik nasional yang bersandarkan pada militerisme telah membuat terbuai organisasi intelijen. Jelas sekali peran intelijen sebagai kepanjangan tangan penguasa, dan kedekatan BAKIN dengan mantan Presiden Suharto tidaklah mungkin untuk dibantah.
* Anomali organisasi BAKIN terjadi setidaknya dua kali yaitu pertama ketika Ali Moertopo waktu itu berpangkat Brigjen memegang posisi sebagai salah satu Deputi Operasi yang sangat berpengaruh. BAKIN kalah terkenal oleh apa yang masyarakat kenal sebagai Opsus (Operasi Khusus). Kedua yaitu ketika Benny Moerdhani yg masih Mayjen menjabat sebagai Wakil Kepala BAKIN, upaya pengrusakan organisasi sipil dibawah militer sangat kentara terjadi di BAKIN. Akibatnya intelijen sipil benar-benar mandul, impoten dan dikuasai oleh militer seutuhnya. Pada anomali organisasi yang kedua, yaitu dibawah kepemimpinan Sudibyo yang terjadi adalah kemandulan organisasi BAKIN tersebut tidak segera diatasi dengan revitalisasi organisasi yang mengupayakan kemandirian intelijen sipil. Anggota intelijen lebih banyak disuapi "bingkisan" dari rekanan pengusaha pimpinan dan lupa dengan tugas pokok organisasi. Sehingga peranan BAIS jelas jauh lebih menonjol ketimbang BAKIN yang secara teori jauh lebih tinggi.
* Adalah Letjen (purn) Moetojib yang pertama berusaha lebih netral dalam soal politik nasional, yaitu ketika memutuskan untuk tidak turut serta dalam rekayasa penggembosan PDI (Megawati).
* Upaya serius memperbaiki kinerja BAKIN diawali oleh gebrakan Letjen (purn) ZA Maulani yang sempat memiliki waktu untuk mengevaluasi kerja BAKIN saat menjabat sebagai pimpinan Setwapres. Letjen (purn) ZA Maulani sangat menyadari kualitas produk BAKIN yang diibaratkan sebagai garbage in garbage out (semuanya analisa BAKIN bagaikan sampah busuk). Disadari atau tidak oleh orang-orang BAKIN, pernyataan Letjen (purn) ZA Maulani tersebut tidak mengherankan, karena faktanya BAKIN telah terperosok ke dalam jurang kehancuran organisasi melalui dominasi militer dan hilangnya jiwa pengabdian intelijen yang profesional.
* Letjen (purn) ZA Maulani masih sempat meninggalkan berkas reformasi organisasi yang bertujuan merombak organisasi dan gelar operasinya. Berkas tersebut dilanjutkan oleh Letjen (purn) Arie J. Kumaat karena seperti biasa pergantian presiden berarti pergantian Kepala Badan Intelijen. Betapa beratnya kepemimpinan Letjen (purn) Arie J. Kumaat karena konon ia bukan pilihan Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid).
* Reformasi intelijen dalam tubuh BAKIN yang kemudian dikukuhkan menjadi BIN di era Letjen (purn) Arie J. Kumaat tersebut semakin berkibar ketika pemimpin flamboyan Letjen (purn) AM Hendropriyono diangkat sebagai Kepala BIN dengan status setingkat Menteri Negara. Langkah-langkah perbaikan organisasi juga dilaksanakan sejalan dengan semangat menjadikan BIN sebagai organisasi yang profesional. Sayangnya nuansa politis masih terasa seperti juga pada masa-masa kepemimpinan sebelumnya. Kedekatan Letjen (purn) AM Hendropriyono yang kemudian mendapat pangkat kehormatan sebagai Jenderal dari mantan presiden Megawati tidak diragukan lagi kedekatannya dengan presiden. Sebuah upaya positif adalah memperkuat posisi sipil dalam organisasi BIN, bahkan ikut mengusulkan agar Kepala BIN bisa dipimpin orang sipil.
* Terakhir adalah menurunnya kembali status Kepala BIN. Meski fakta pangkat militer pemimpin yang terakhir hanya berbintang 2, tidak berarti kemampuannya memimpin organisasi intelijen patut diragukan. Mayjen (purn) Syamsir Siregar sebagai teman dekat presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang berkuasa, memikul beban yang sangat berat baik secara internal maupun eksternal. Dengan pengalaman memimpin lembaga intelijen TNI (BIA/BAIS) tentunya harapan membawa BIN menjadi organisasi yang profesional, disegani dan disayangi rakyat menjadi tugas utamanya. Kemandegan reformasi intelijen yang tidak jelas mau kemana, persoalan profesionalisme intelijen, dan semakin menurunnya citra intelijen di mata publik seyogyanya segera diatasi secara profesional. Tentu saja soal kedekatan Kepala Badan Intelijen dengan presiden juga patut mendapat sorotan, karena selayaknya kedekatan itu tidak kembali menjerumuskan dan menghancurkan organisasi yang dibangun demi kejayaan bangsa Indonesia.